Jumat, 28 Agustus 2009

cerpen

Karya
Gerimis kecil mulai turun, aku percepat langkahku, hanya dalam hitungan menit, hujan melebat, aku ubah langkahku menjadi berlari, aku sigap mencari tempat berlidung, sampai aku menemukan sebuah Kafe kecil, dengan ornamen kayu dan penuh dengan benda - benda dengan gaya etnik, setahuku, kafe ini bukanlah Kafe yang baru, sejak dulu tempat ini sudah ada, bahkan jauh sebelum menjamurnya Kafe di kota ini.
Aku masuk ke Kafe itu, seperti biasa, aku disapa ramah oleh karyawannya, ini bukan kunjunganku yang pertama, mungkin telah berpuluh - puluh kali aku mengunjungi kafe ini, setiap ada waktu luang aku selalu sengaja mengunjungi tepat ini, sampai - sampai aku sudah sangat hafal dengan semua menu yang disediakannya.



Aku memilih tempat meja yang berada di pojok, tempat yang biasanya aku pilih, karena tempat ini berada di serambi lantai 2, dari tempat ini dapat terlihat jalan dan trotoar, sehingga dapat dengan mudah melihat mobil dan orang yang lalu lalang. itu yang membuat aku tak pernah bosan berada di tempat ini.
"Cappucinno dan Croissan Tuna." Ucapku pada pelayan, itu makanan Favoritku, dan biasa aku pesan.
Aku kembali melihat ke arah jalan, hujan masih cukup lebat, malah sesekali terdengar petir menggelegar, mengerikan.
Suasana ini... sungguh merasa aku kembali ke masa lalu, susana saat ini nyaris sama dengan kejadian 3 tahun yang lalu.
Saat itu, akupun sedang duduk di kursi ini, di luar hujan deras. Waktu itu aku sengaja berada di Kafe ini untuk menunggu hujan reda, karena tak mungkin bagiku untuk membelah hujan dengan mengendarai motor.
Sebenarnya aku sudah cukup bosan duduk, sudah hampir 1 jam kerjaanku hanya duduk dan memperhatikan ribuan tetes air yang jatuh dari langit sambil terus berharap agar hujan segera reda.
Iseng aku perhatikan seorang wanita sebayaku yang belum lama ini duduk di meja yang letaknya tak begitu jauh dengan mejaku.
Ia pun duduk sendiri, tebakku dia sama denganku, menunggu hujan reda. Manis juga, ucapku dalam hati.
Ternyata ia tahu aku memperhatikannya, karena kulihat ia balas menatapku, dan tanpa kuduga ia melempar senyum kebadaku.
Wah hal itu cukup membuat aku salah tingkah, cepat aku membalas senyumnya, dan segera mengalihkan pandanganku. Namun hal ini malah membuatku semakin penasaran, aku kembali mencuri pandang padanya. Kini, kulihat dia asik membaca majalah yang di sediakan Kafe ini.
Tersirat di pikiranku untuk memberanikan diri menghampirinya, yah sekedar iseng, daripada hanya duduk. Mungkin saja dia juga sebenarnya ingin mempunyai teman untuk mengobrol.
Namun, rasa bimbang menghalangiku, aku takut dia tak seramah yang kubayangkan, malah jangan - jangan dia hanya menganggapku sebagai cowok iseng.
Ternyata rasa bimbangku tidak kalah besar dengan rasa panasaranku, dan hal itu memaksaku untuk berdiri dari dudukku, dan berjalan ke arah wanita itu.
"Boleh aku menemani ngobrol?" aku memaksa mulutku untuk mengucapkan kalimat itu.
Dia melihat kearahku, senyum kecil terlukis, dan dengan segera ia anggukan kepala, tanda setuju.
Aku lega, ternyata tak sesulit yang aku bayangkan. Aku segera mengambil duduk di hadapannya.
"Nunggu hujan reda?" aku mulai membuka perbincangan.
"Yup." Ucapnya singkat sambil kembali tersenyum.
"Sulit memang kalau cuaca seperti ini terus, apalagi kita gak bisa nebak, kalo hari ini mau turun hujan atau enggak."
"Yah, maklum aja deh mas, lagian ini kan musim penghujan."
"Emh, masih kuliah?" tanyaku
Ia kembali menjawab dengan anggukan, "Tapi jaman sekarang sulit mas buat kuliah, apalagi orang seperti aku, yang musti membagi waktu antara kerja dengan kuliah."
"Wah, kuliah sambil kerja? Memangnya bisa membagi waktu?"
"Sebenernya sulit juga sih mas, aku saja terkadang lebih mementingkan pekerjaanku dibanding kuliah. Tapi yah mau gimana lagi, kalau enggak kerja, otomatis aku gak bisa kuliah. Kalau mas sendiri masih kuliah kan."
"Yah begitulah."
"Tapi Mas enak kan, tidak perlu banting tulang untuk membayar uang kuliah."
Aku terdiam, memang aku ini dapat dibilang dari keluarga yang cukup berada, mau apa saja tinggal bilang, toh Papa ato Mama pasti mau ngabulinnya. Apalagi aku merupakan anak tunggal, semua kasih sayang kedua orang tuaku tercurah semuanya padaku.
Tapi kalau melihat dia, aku merasa malu, aku kadang tak pernah memperhatikan tugas - tugas kuliahku, malah di kampus aku tergolong mahasiswa bengal, kerjaanku hanya nongkrong dan kumpul ama temen se-gank.
"Ko pertanyaan ku gak dijawab Mas?"
"Oh... Iya, maaf, jujur aku memang gak pernah mau mikir buat uang kuliah, karena orang tuaku semua yang urus."